Senin, 20 September 2010

Nasib Buruk Para Penghina Nabi

Menghina Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam tidaklah seperti menghina salah seorang dari kaum muslimin. Beliau adalah makhluk pilihan Allah yang dimuliakan dengan risalah dan akhlak yang terpuji. Maka, penghinaan terhadap beliau merupakan penghinaan terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah telah menjanjikan siksa yang pedih di dunia dan akhirat bagi orang-orang yang menghina Allah, Agama-Nya, dan para utusan-Nya. Orang-orang yang telah menghina para utusan Allah terdahulu menjadi bukti akan ancaman Allah ini.
Kaum Nabi Nuh 'alaihis salam telah menghina utusan Allah kepada mereka. Lalu Allah menghancurkan mereka dengan menenggelamkan mereka di dunia. Sedangkan di akhirat, mereka akan mendapatkan adzab yang lebih pedih. "Maka mereka mendustakan Nuh, kemudian Kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya dalam bahtera, dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta (mata hatinya)." (QS. Al-A'raf: 64)

Hukum Bunuh Bagi Penghina Nabi


Sekali lagi, menghina Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak seperti menghina manusia lainnya. Menghina beliau sama saja dengan menghina Allah sebagai Dzat yang mengutusnya, berarti juga menghina Islam yang dengannya dia diutus. Jika demikian, wajarkah apabila umat Islam bangkit berdiri memprotes dan melawan para pencela Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
Allah Ta'ala berfirman:
وَإِنْ نَكَثُوا أَيْمَانَهُمْ مِنْ بَعْدِ عَهْدِهِمْ وَطَعَنُوا فِي دِينِكُمْ فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ إِنَّهُمْ لَا أَيْمَانَ لَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَنْتَهُونَ
"Jika mereka merusak sumpah (janji)-nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti." (QS. At-Taubah: 12)
Dalam ayat di atas, Allah menyebut orang yang mencerca agama sebagai gembong kekafiran. Tentu saja predikat ini lebih buruk dari sekedar kekafiran belaka. Karenanya, sebagian ulama menjadikan ayat di atas sebagai dalil untuk menyatakan wajibnya membunuh setiap orang yang mencaci agama.
Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan dalam tafsirnya, "dari ayat ini diambil dasar hujjah (argumentasi) untuk membunuh orang yang mencerca Rasul shallallahu 'alaihi wasallam, atau orang yang mencerca agama Islam atau mencelanya."

Tidak Ada Maaf bagi Penghina Rasul

Vonis mati penghina Rasul
Mencela, mengolok-olok, mencaci-maki, ataupun merendahkan martabat Rasulullah saw., dalam terminologi fikih Islam dikenal dengan istilah sabba ar-Rasûl atau syatama ar-Rasûl. Untuk mengetahui lebih lanjut kata-kata atau kalimat-kalimat seperti apa yang terkategori sabba ar-Rasûl, ada baiknya kita menyimak deskripsi tentang sabba ar-Rasul itu. Ibn Taimiyah, dalam kitabnya, ash-Shârim al-Maslûl ‘alâ Syâtimi ar-Rasûl, menerangkan tentang batasan orang-orang yang menghujat Nabi saw., yaitu: katat-kata (lafadz) yang bertujuan untuk menyalahkan, merendahkan martabatnya, melaknat, menjelek-jelekkan, menuduh Rasulullah saw. tidak adil, meremehkan, serta mengolok-olok Rasulullah saw. (Ibn Taimiyah, ash-Shârim al-Maslûl ‘alâ Syâtimi ar-Rasûl, hlm. 528). Di dalam kitab tersebut juga beliau menukil pendapat Qadhi Iyadh tentang berbagai macam hujatan kepada Nabi saw. Dijelaskan demikian: Orang-orang yang menghujat Rasulullah saw. adalah orang-orang yang mencela, mencari-cari kesalahan, menganggap pada diri Rasulullah saw. ada kekurangan, serta mencela nasab (keturunan) dan pelaksanaan agamanya; juga menjelek-jelekkan salah satu sifatnya yang mulia; menentang atau mensejajarkan Rasulullah saw. dengan orang lain dengan niat untuk mencela, menghina, mengecilkan, menjelek-jelekkan, dan mencari-cari kesalahannya. Orang tersebut adalah orang yang telah menghujat Rasulullah saw. Orang semacam ini harus dibunuh. (Ibidem, hlm. 531).

Hukum Mencela Nabi Muhammad


Pengertian Menghina

Kata menghina dalam bahasa Indonesia memiliki banyak sinonim antara
lain:
1. Mencela.
2. Mencaci semakna dengan mencela, mencerca, mencemooh dan menista.
3. Merendahkan, meremehkan dan menghinakan.
4. Mengolok-olok, yaitu mengejek atau mempermainkan dengan perkataan.

Sedang dalam bahasa Arab terdapat beberapa istilah yaitu:
1. Istihza' dan sukhriyah (adalah pelecehan dan penghinaan dalam
bentuk olok-olokan dan kelakar.
2. Laumah (mencela, mencerca).
3. As-Sabbu atau siba dan satam (mencaci).
4. Al-Lamzu (mengumpat dan menampakkan aib).

Penghinaan dan ejekan adalah salah satu kebiasaan yang dilakukan oleh
orang kafir terhadap para utusan Allah. Dan hampir tidak ada seorang
rasul-pun yang datang kepada kaumnya yang kafir kecuali akan merasakan
ejekan dan penghinaan ini. Oleh karena itu, Allah Ta'ala banyak
menyuruh Rasul-Nya Shallallahu 'Alaihi Wasallam untuk bersabar dalam
menghadapi ejekan kaumnya. Dia menghibur Rasul-Nya Shallallahu 'Alaihi
Wasallam dengan menurunkan ayat yang menerangkan keadaan para rasul
sebelum beliau dan keadaan orang-orang yang mendustakan mereka. Allah
Ta'ala berfirman:

"Dan sungguh telah diperolok-olokkan beberapa rasul sebelum kamu,
maka turunlah kepada orang-orang yang mencemoohkan di antara mereka
balasan (azab) olok-olokan mereka."

— QS. Al-An'am: 10

Minggu, 05 September 2010

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2010 TENTANG DISIPLIN PEGAWAI NEGERI SIPIL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil sudah tidak sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan keadaan; b. bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, perlu mengganti Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok- Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG DISIPLIN PEGAWAI NEGERI SIPIL.
BAB I KETENTUAN UMUM 
Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Disiplin Pegawai Negeri Sipil adalah kesanggupan Pegawai Negeri Sipil untuk menaati kewajiban dan menghindari larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan/atau peraturan kedinasan yang apabila tidak ditaati atau dilanggar dijatuhi hukuman disiplin. 2. Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah PNS Pusat dan PNS Daerah. 3. Pelanggaran disiplin adalah setiap ucapan, tulisan, atau perbuatan PNS yang tidak menaati kewajiban dan/atau melanggar larangan ketentuan disiplin PNS, baik yang dilakukan di dalam maupun di luar jam kerja. 4. Hukuman disiplin adalah hukuman yang dijatuhkan kepada PNS karena melanggar peraturan disiplin PNS. 5. Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat, Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Provinsi, dan Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Kabupaten/Kota adalah sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur wewenang pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS. 6. Upaya administratif adalah prosedur yang dapat ditempuh oleh PNS yang tidak puas terhadap hukuman disiplin yang dijatuhkan kepadanya berupa keberatan atau banding administratif. 7. Keberatan adalah upaya administratif yang dapat ditempuh oleh PNS yang tidak puas terhadap hukuman disiplin yang dijatuhkan oleh pejabat yang berwenang menghukum kepada atasan pejabat yang berwenang menghukum. 8. Banding administratif adalah upaya administrative yang dapat ditempuh oleh PNS yang tidak puas terhadap hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS yang dijatuhkan oleh pejabat yang berwenang menghukum, kepada Badan Pertimbangan Kepegawaian. Pasal 2 Ketentuan Peraturan Pemerintah ini berlaku juga bagi calon PNS.
BAB II KEWAJIBAN DAN LARANGAN 
Bagian Kesatu Kewajiban Pasal 3 Setiap PNS wajib: 1. mengucapkan sumpah/janji PNS; 2. mengucapkan sumpah/janji jabatan; 3. setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Pemerintah; 4. menaati segala ketentuan peraturan perundangundangan; 5. melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada PNS dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab; 6. menjunjung tinggi kehormatan negara, Pemerintah, dan martabat PNS; 7. mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan sendiri, seseorang, dan/atau golongan; 8. memegang rahasia jabatan yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus dirahasiakan; 9. bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan negara; 10. melaporkan dengan segera kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan negara atau Pemerintah terutama di bidang keamanan, keuangan, dan materiil; 11. masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja; 12. mencapai sasaran kerja pegawai yang ditetapkan; 13. menggunakan dan memelihara barang-barang milik negara dengan sebaik-baiknya; 14. memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat; 15. membimbing bawahan dalam melaksanakan tugas; 16. memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengembangkan karier; dan 17. menaati peraturan kedinasan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang. Bagian Kedua Larangan Pasal 4 Setiap PNS dilarang: 1. menyalahgunakan wewenang; 2. menjadi perantara untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan/atau orang lain dengan menggunakan kewenangan orang lain; 3. tanpa izin Pemerintah menjadi pegawai atau bekerja untuk negara lain dan/atau lembaga atau organisasi internasional; 4. bekerja pada perusahaan asing, konsultan asing, atau lembaga swadaya masyarakat asing; 5. memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan barang-barang baik bergerak atau tidak bergerak, dokumen atau surat berharga milik negara secara tidak sah; 6. melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara; 7. memberi atau menyanggupi akan memberi sesuatu kepada siapapun baik secara langsung atau tidak langsung dan dengan dalih apapun untuk diangkat dalam jabatan; 8. menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja dari siapapun juga yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaannya; 9. bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya; 10. melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan suatu tindakan yang dapat menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayani sehingga mengakibatkan kerugian bagi yang dilayani; 11. menghalangi berjalannya tugas kedinasan; 12. memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan cara: a. ikut serta sebagai pelaksana kampanye; b. menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau atribut PNS; c. sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan PNS lain; dan/atau d. sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara; 13. memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden dengan cara: a. membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau b. mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat; 14. memberikan dukungan kepada calon anggota Dewan Perwakilan Daerah atau calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara memberikan surat dukungan disertai foto kopi Kartu Tanda Penduduk atau Surat Keterangan Tanda Penduduk sesuai peraturan perundangundangan; dan 15. memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, dengan cara: a. terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah; b. menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye; c. membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau d. mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.

Kamis, 02 September 2010

MODEL- MODEL PEMBELAJARAN


1. Kooperatif (CL, Cooperative Learning).
Pembelajaran kooperatif sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk sosial yang penuh ketergantungan dengan otrng lain, mempunyai tujuan dan tanggung jawab bersama, pembagian tugas, dan rasa senasib. Dengan memanfaatkan kenyatan itu, belajar berkelompok secara kooperatif, siswa dilatih dan dibiasakan untuk saling berbagi (sharing) pengetahuan, pengalaman, tugas, tanggung jawab. Saling membantu dan berlatih berinteraksi-komunikasi-sosialisasi karena kooperatif adalah miniatur dari hidup bermasyarakat, dan belajar menyadari kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Jadi model pembelajaran kooperatif adalah kegiatan pembelajaran dengan cara berkelompok untuk bekerja sama saling membantu mengkontruksi konsep, menyelesaikan persoalan, atau inkuiri. Menurut teori dan pengalaman agar kelompok kohesif (kompak-partisipatif), tiap anggota kelompok terdiri dari 4 – 5 orang, siswa heterogen (kemampuan, gender, karekter), ada control dan fasilitasi, dan meminta tanggung jawab hasil kelompok berupa laporan atau presentasi.
Sintaks pembelajaran kooperatif adalah informasi, pengarahan-strategi, membentuk kelompok heterogen, kerja kelompok, presentasi hasil kelompok, dan pelaporan.

Rabu, 01 September 2010

PHYSICAL PRINCIPLES OF ULTRASOUND

ULTRASOUND AS A WAVE

Sound is propagated through a medium (e.g. air) as a mechanical vibration of the particles of that medium and in simple terms may be categorised by its loudness and pitch or frequency. “Ultra” means beyond, ultrasound is sound with a frequency beyond that of human perception (i.e. >20 kHz), and has the same physical properties as “audio” sound. Most clinical diagnostic applications of ultrasound employ frequencies in the range 2 - 10 MHz.

Ultrasonic energy travels through a medium in the form of a wave. Although a number of different wave modes are possible, in almost all diagnostic applications, ultrasound propagates in the form of a longitudinal wave, where the particles of the medium oscillate in the direction of propagation of the sound. Energy is transferred through the medium in a direction parallel to that of the oscillations of the particles. The particles themselves do not move through the medium. They simply vibrate to and fro about their mean position.

The vibrations of individual particles may be complex For simplicity consider the movement of a single particle excited by pure sinusoidal continuous wave.

The graph above shows the displacement of the particle about its mean position plotted against time. The time taken to execute one complete cycle, T, is called the period. The maximum displacement, a, is known as the amplitude. If the frequency of the wave is f (Hz) i.e. it executes f complete cycles per second. The time taken to execute one complete cycle, T, is given by

Period = 1/f seconds