Program
100 tahun kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 2045 diharapkan
menjadi tonggak Indonesia Emas pada saat peringatannya dan
realitasnya. Indonesia Emas dimaknai dengan kondisi negara yang Maju,
Makmur, Modern, Madani, dihuni oleh masyarakat yang berperadaban seperti
yang dimaksud. Persiapan selama kurang lebih 40 tahun sebelumnya, sejak
diberlakukan undang-undang Pendidikan Nasional, dan undang-undang Guru
dan Dosen — sebutlah sejak 2005, Pemerintah telah mempersiapkan
perangkat aturan terkait dengan tujuan itu. Sebutlah salah satunya
adalah menetapkan aturan tentang PAUD dan mengimplementasikannya di
seluruh pelosok negeri. Penegasan pendidikan di PAUD berbasis
Pembangunan Karakter dan Budipekerti berbasis Budaya dan Kearifan lokal
diharapkan menjadi pondasi mental yang tangguh anak-anak bangsa pada
tataran pendidikan yang paling rendah. Output dari PAUD akan menjadi
input di TK, dan output TK akan menjadi input di SD dan secara
berkesinambungan ke jenjang berikutnya, tetap mendapat penegasan
pendidikan berbasis Karakter, Budipekerti, Warisan Budaya, dan Kearifan
lokal, sehingga Pemerintah dalam hal ini merombak Kurikulum yang dikenal
dengan Kurikulum 2013, Kurikulum Kecakapan Hidup. Implementasi
Kurikulum 2013 sendiri sampai tulisan ini dibuat (Mei 2014) masih banyak
kedodoran di sana-sini. Sebagai contoh proses rekruitmen dan penularan
para Instruktur Kurikulum yang belum beres, Perubahan buku teks dan buku
pegangan guru terkait Kurikulum 2013 belum beres juga. artinya yang
sudah tercetak akan tidak terpakai dan rencana akan dicetak baru.
Apalagi Implementasi di lapangan, di sekolah-sekolah banyak yang
kedodoran dan asal-asalan. Di satu sisi pembenahan tenaga pendidik
secara stimulan terus dilakukan dengan bingkai mencetak guru
profesional, dari guru-guru yang sudah ada kontinyu disertifikasi dan
mahasiswa keguruan maupun non keguruan yang berminat menjadi guru dan
sudah lulus sarjana wajib mengikuti PPG. Semuanya memang masih
berproses, namun dari yang sudah terjadi tidak ada salahnya untuk di
evaluasi.
Realitasnya Indonesia Emas diprioritaskan cukup 100
tahun terwujud — tidak perlu seperti Amerika Serikat yang perlu waktu
200 tahun untuk menjadi negara maju — , telah dipikir dan diperhitungkan
oleh para cerdik pandai, tokoh-tokoh nasional negara ini dengan
bijaksana. Kerangka besarnya sangat kuat dan indah, namun
kerangka-kerangka kecilnya perlu diawasi dan dianalisis secara detail
kemajuannya. Beberapa analisis muncul di benak penulis yang membuat
gundah dan gamang akan kesuksesan tujuan besar dan mulia Menuju
Indonesia Emas ini. Pertama, pihak pemerintah dalam hal ini Departemen
Pendidikan nasional maupun Departemen terkait lainnya, melaksanakannya,
merealisasikan blue print visi Indonesia Emas ini hanya sebatas proyek.
Proyek yang dilakukan per program yang ditargetkan. Apalagi terkesan
Proyek akan jalan jika ada pendanaan, dan proyek akan berhenti jika
sudah tidak ada dana. Walhasil, kekontinuitas program tidak jalan, hal
demikian tercopy sampai jajaran tingkat yang paling bawah– sekolah–.
Hasilnya apa ? produk program yang serba parsial -- patah-patah–, bahkan
putus sama sekali. Sebut saja sebagai contoh, pendidikan karakter dan
budaya yang seharusnya terintegratif di setiap mata pelajaran di segala
jenjang pendidikan, sekarang ini mati kutu. Kurikulum baru yang nota
bene sebagai kurikulum berbasis Kecakapan Hidup — melatih murid agar
mampu survival di masa depan, dengan mengedepankan vokasional, prakarya,
masih tumpang tindih pelaksanaannya di lapangan.
Kedua,
tingkat perencanaan yang rendah tampak menyolok sekali terjadi di
jenjang pusat maupun daerah. Terlihat fenomena sekedar berani dulu,
nanti kalau ada yang tidak sesuai akan dibetulkan. Apalagi tidak semua
elemen bangsa memahami visi Indonesia Emas ini yang memang minim
sosialisasi. Taruh contoh pembubaran Sekolah Bertaraf Internasional,
pencetakan buku ajar baru kurikulum 2014 dengan membuang buku-buku yang
sudah terlanjur di cetak, Kebingungan praktisi pendidikan di tingkat
sekolah terhadap implementasi pelaksanaan kurikulum 2014, penyajian
pembelajaran dilapangan, dan evaluasinya. Hasilnya tampak sebagai tidak
ada perubahan yang berarti pada aplikasi pembelajaran, dan kualitas
outputnya.
Ketiga, ketidaksinergisan semua Institusi kenegaraan
dalam menyikapi kesuksesan visi Indonesia Emas ini tercermin pada
tindakan yang sendiri-sendiri dalam perjalanan bernegara. Terkesan tidak
ada kata sepakat untuk menyukseskan program ini. Departemen-departemen
lain berjalan sendiri yaang terkesan asal jalan. Seolah beban ini hanya
dipikul oleh departemen yang hanya menyelenggarakan pendidikan saja.
Sementara di kehidupan sosial masyarakat tidak ada greget sama sekali
terhadap visi besar ini, di dunia penyiaran, mass media tetap bebas
menayangkan hal-hal yang justru bertentangan dengan visi besar ini. Visi
besar ini tidak dianggap sebagai Program Nasional.
Kalau kita
tidak segera mengambil sikap Sepakat Nasional terhadap kerja besar ini,
Saya kira tidak cukup power untuk kita mewujudkannya. Kita simak sejarah
di Amerika Serikat, mereka punya tekad American Growth, sementara
Jepang pernah menpunyai Restorasi Meiji, untuk memajukan negaranya– kita
sekarang bahkan tidak punya bentuk tekad pasti.
Jayalah Bangsa Indonesia, salam Saatnya Memberi Arti.