Selasa, 27 Agustus 2019

Belajar Terus


“The illiterate of the 21st century will not be those who cannot read and write, but those who cannot learn, unlearn, and relearn.”       (Alvin Toffler)


Alvin Toffler seorang penulis dan futurolog Amerika yang dikenal karena karya-karyanya yang membahas  mengenai digital, revolusi komunikasi, dan singularitas teknologi dalam Future Shock (1970) menulis begitu; “The illiterate of the 21st century will not be those who cannot read and write, but those who cannot learn, unlearn, and relearn.” Kalau diterjemahkan kasar kira-kira begini; “Orang yang buta huruf di abad ke-21 bukanlah mereka yang tidak bisa baca dan tulis, tetapi mereka yang tidak bisa belajar, melepaskan konsep pelajaran, dan belajar kembali. ”

Learn artinya belajar, berubah dari tidak tahu menjadi tahu. Ada perubahan yang terjadi secara konstruktif. Proses learn biasa terjadi pada anak pembelajar untuk mendapatkan, memperoleh, mengumpulkan informasi, pengetahuan dan keterampilan, ilmu pengetahuan serta berbagai nilai hidup yang baru. Lewat proses pembelajaran ini terbentuk pola pikirnya, mengasah keterampilannya, menemukan dan menumbuhkan nilai-nilai serta sikap hidup dalam dirinya. Setelah proses pembelajaran ini berlangsung dalam periode tertentu, maka ia telah relatif cukup memiliki informasi, pengetahuan, keterampilan, ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang bisa ia pergunakan untuk hidup berdikari, mandiri dalam relasi dengan masyarakatnya.
Orang dewasa tidak lagi sekadar learn, melainkan harus belajar dengan unlearn dan relearn. Jika ada salah konsep maka harus mau berubah dan meninggalkan konsep tersebut unlearn artinya meninggalkan, melepaskan, mencopot, atau membuang pelajaran-pelajaran yang ternyata tidak benar, tidak baik, tidak berguna, tidak mendatangkan manfaat, kurang komplit, kadaluwarsa dan ketinggalan zama. Unlearn juga berarti meninggalkan kebiasaan lama yang tidak sehat, kebiasaan yang menghambat kemajuan, kebiasaan yang merusak kesehatan, kebiasaan yang mengancam hubungan silaturahmi dengan sesama, kebiasaan atau pemahaman atau membawa unsur SARA, dsb. yang sudah terlanjur ada dalam diri kita. Proses unlearn adalah dekonstruktif dari konstruksi yang sudah terbentuk dalam proses learn dengan cara meninggalkan-melepaskan-mencopot-membuang-membongkar apa yang sudah dipelajari dan menangkap konsep yang benar  kemudian memegang kebenaran yang baru relearn.
Kegiatan relearn merupakan kemauan untuk memperbaiki pengetahuan yang salah, meningkatkan keterampilan yang kurang, meluruskan pemahaman yang keliru, mengadopsi nilai-nilai baru yang lebih dekat kepada kebenaran, dst. Proses relearn merupakan proses rekonstruksi setelah di unlearn (didekonstruksi) yang terdiri dari memperbaiki-meningkatkan-meluruskan.
Tiga kegiatan proses pembelajaran ini harus berlangsung terus selama hayat masih di kandung badan. Karena itu, himbauan untuk terus belajar, ternyata perlu diikuti dengan himbauan untuk melupakan hasil pembelajaran kita, untuk kemudian belajar lagi sesuatu yang serba baru. Kalau dunia memang ditandai oleh diskontinuitas, itu berarti kita selalu menghadapi situasi revolusioner, yang jangka waktu setiap tema revolusinya terkadang bisa sangat pendek. Arah revolusi tersebut pastilah dinamikanya membawa perubahan terutama bagi kehidupan kita. Bukankah yang tidak pernah berubah dalam alam ini adalah perubahan itu sendiri. Kalau memang revolusioner teknologi itu menjadi penanda utama zaman kita, konsekuensinya jelas. Secara individual maupun institusional, keberadaan kita akan amat tergantung pada dua hal: pertama, kemampuan adaptasi pada situasi revolusioner seperti itu, dan kedua, kemampuan menangkap dan memanfaatkan berbagai peluang yang tercipta dari revolusi tersebut. Karena itu, kita perlu terus-menerus memberdaya diri, agar peka melihat gejala-gejala perubahan dan siap menangkap peluang yang tercipta olehnya. Kita perlu terus menerus memperkaya diri dengan wawasan baru agar tidak cepat menjadi orang yang “kadaluwarsa”.
Alasan praktis orang harus belajar hal-hal baru karena kemajuan teknologi telah merevolusi cara orang melakukan sesuatu, perhatikan maraknya revolusi industri 4.0. Ketika email dan jejaring sosial online telah mengubah cara manusia berkomunikasi, bertransaksi, ketika hari-hari akan didominasi oleh teknologi kaca/fiber glass, ketika sistem terintegrasi dari komunikasi, informasi, komputerisasi, digital, kecerdasan buatan, jejaring satelit dating menghampiri kehidupan kita, membawa peradaban baru. Mau tak mau kita harus belajar meraihnya dan mengelolanya hingga benar-benar menjadi kemudahan bagi kehidupan kita. Tidak ada keraguan bahwa teknologi mengubah cara orang bekerja. Persaingan di pasar saat ini semakin ketat. Orang yang enggan menerimanya, menghadapi lebih banyak masalah karena ketidakberdayaan mereka untuk “melepaskan konsep lama” dan “mempelajari kembali”, demikian pula sebaliknya. Dengan demikian, kegagalan untuk memperbarui dengan pengetahuan terbaru akan menghasilkan penurunan produktivitas dan efisiensi, atau bahkan menyebabkan hilangnya pekerjaan. Tanpa kemampuan untuk mempelajari kembali hal-hal baru, dapat diperdebatkan bahwa orang akan ketinggalan zaman dan menjadi “buta huruf”.