“The illiterate of the 21st century will not be those who cannot read and write, but those who cannot learn, unlearn, and relearn.” (Alvin Toffler)
Alvin
Toffler seorang penulis dan futurolog Amerika yang dikenal karena
karya-karyanya yang membahas mengenai digital, revolusi komunikasi, dan
singularitas teknologi dalam Future Shock
(1970) menulis begitu; “The
illiterate of the 21st century will not be those who cannot read and write, but
those who cannot learn, unlearn, and relearn.” Kalau diterjemahkan kasar
kira-kira begini; “Orang yang buta huruf di abad ke-21 bukanlah mereka yang
tidak bisa baca dan tulis, tetapi mereka yang tidak bisa belajar, melepaskan
konsep pelajaran, dan belajar kembali. ”
Learn artinya
belajar, berubah dari tidak tahu menjadi tahu. Ada perubahan yang terjadi
secara konstruktif. Proses learn
biasa terjadi pada anak pembelajar untuk mendapatkan, memperoleh, mengumpulkan
informasi, pengetahuan dan keterampilan, ilmu pengetahuan serta berbagai nilai
hidup yang baru. Lewat proses pembelajaran ini terbentuk pola pikirnya,
mengasah keterampilannya, menemukan dan menumbuhkan nilai-nilai serta sikap
hidup dalam dirinya. Setelah proses pembelajaran ini berlangsung dalam periode
tertentu, maka ia telah relatif cukup memiliki informasi, pengetahuan,
keterampilan, ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang bisa ia pergunakan untuk
hidup berdikari, mandiri dalam relasi dengan masyarakatnya.
Orang dewasa tidak lagi sekadar learn, melainkan harus belajar dengan unlearn dan relearn. Jika ada salah konsep maka harus mau berubah dan
meninggalkan konsep tersebut unlearn
artinya meninggalkan, melepaskan, mencopot, atau membuang pelajaran-pelajaran
yang ternyata tidak benar, tidak baik, tidak berguna, tidak mendatangkan
manfaat, kurang komplit, kadaluwarsa dan ketinggalan zama. Unlearn juga berarti meninggalkan kebiasaan lama yang tidak sehat,
kebiasaan yang menghambat kemajuan, kebiasaan yang merusak kesehatan, kebiasaan
yang mengancam hubungan silaturahmi dengan sesama, kebiasaan atau pemahaman
atau membawa unsur SARA, dsb. yang sudah terlanjur ada dalam diri kita. Proses unlearn adalah dekonstruktif dari
konstruksi yang sudah terbentuk dalam proses learn dengan cara meninggalkan-melepaskan-mencopot-membuang-membongkar
apa yang sudah dipelajari dan menangkap konsep yang benar kemudian memegang
kebenaran yang baru relearn.
Kegiatan relearn merupakan kemauan untuk memperbaiki pengetahuan yang salah,
meningkatkan keterampilan yang kurang, meluruskan pemahaman yang keliru,
mengadopsi nilai-nilai baru yang lebih dekat kepada kebenaran, dst. Proses relearn merupakan proses rekonstruksi
setelah di unlearn (didekonstruksi)
yang terdiri dari memperbaiki-meningkatkan-meluruskan.
Tiga kegiatan proses pembelajaran
ini harus berlangsung terus selama hayat masih di kandung badan. Karena itu, himbauan
untuk terus belajar, ternyata perlu diikuti dengan himbauan untuk melupakan hasil
pembelajaran kita, untuk kemudian belajar lagi sesuatu yang serba baru. Kalau
dunia memang ditandai oleh diskontinuitas, itu berarti kita selalu menghadapi
situasi revolusioner, yang jangka waktu setiap tema revolusinya terkadang bisa
sangat pendek. Arah revolusi tersebut pastilah dinamikanya membawa perubahan
terutama bagi kehidupan kita. Bukankah yang tidak pernah berubah dalam alam ini
adalah perubahan itu sendiri. Kalau memang revolusioner teknologi itu menjadi penanda
utama zaman kita, konsekuensinya jelas. Secara individual maupun institusional,
keberadaan kita akan amat tergantung pada dua hal: pertama, kemampuan adaptasi
pada situasi revolusioner seperti itu, dan kedua, kemampuan menangkap dan
memanfaatkan berbagai peluang yang tercipta dari revolusi tersebut. Karena itu,
kita perlu terus-menerus memberdaya diri, agar peka melihat gejala-gejala
perubahan dan siap menangkap peluang yang tercipta olehnya. Kita perlu terus
menerus memperkaya diri dengan wawasan baru agar tidak cepat menjadi orang yang
“kadaluwarsa”.
Alasan
praktis orang harus belajar hal-hal baru karena kemajuan teknologi telah
merevolusi cara orang melakukan sesuatu, perhatikan maraknya revolusi industri
4.0. Ketika email dan jejaring sosial online telah mengubah cara manusia
berkomunikasi, bertransaksi, ketika hari-hari akan didominasi oleh teknologi
kaca/fiber glass, ketika sistem terintegrasi dari komunikasi, informasi,
komputerisasi, digital, kecerdasan buatan, jejaring satelit dating menghampiri
kehidupan kita, membawa peradaban baru. Mau tak mau kita harus belajar
meraihnya dan mengelolanya hingga benar-benar menjadi kemudahan bagi kehidupan
kita. Tidak ada keraguan bahwa teknologi mengubah cara orang bekerja. Persaingan
di pasar saat ini semakin ketat. Orang yang enggan menerimanya, menghadapi
lebih banyak masalah karena ketidakberdayaan mereka untuk “melepaskan konsep
lama” dan “mempelajari kembali”, demikian pula sebaliknya. Dengan demikian,
kegagalan untuk memperbarui dengan pengetahuan terbaru akan menghasilkan
penurunan produktivitas dan efisiensi, atau bahkan menyebabkan hilangnya
pekerjaan. Tanpa kemampuan untuk mempelajari kembali hal-hal baru, dapat
diperdebatkan bahwa orang akan ketinggalan zaman dan menjadi “buta huruf”.